Persekusi




 PELAKU persekusi itu ibarat manusia yang menjadi serigala bagi sesamanya. Tidak ada penghormatan terhadap martabat manusia karena makna leksikon persekusi ialah pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga dan disakiti, dipersusah, atau ditumpas.

Keberadaan manusia menjadi serigala bagi sesamanya harus dicegah. Langkah pencegahan itu dilakukan negara. Tugas utama negara ialah memberikan rasa aman dan nyaman terhadap warga.

Harus jujur dikatakan, persekusi menjadi fenomena sangat mengkhawatirkan. Disebut mengkhawatirkan karena persekusi merebak begitu cepat hingga ke pelosok negeri. Selain memicu teror dan keresahan, tindakan itu berpotensi besar memecah belah masyarakat dan mengancam demokrasi.

Sejauh ini sudah ada 60 orang, baik dewasa maupun anak-anak, yang diburu pelaku persekusi. Masalah yang memicu perburuan itu antara lain status di media sosial yang dianggap menyinggung ormas tertentu.

Perburuan itu terang benderang mempertaruhkan eksistensi negara yang menurut konstitusi berdasarkan hukum. Dalam perspektif itulah Presiden Joko Widodo menegaskan persekusi melawan asas hukum negara. Tidak ada satu individu, kelompok, atau organisasi apa pun yang boleh main hakim sendiri. Negara tidak boleh membiarkan siapa pun, dari ormas mana pun dia berasal, untuk main hakim sendiri. Dengan kata lain, negara tidak boleh sekali-kali menutup mata terhadap pelaku persekusi, harus menyeretnya ke pengadilan. Pada titik inilah peranan polisi dinantikan, polisi yang menjadi pengayom masyarakat.

Sebagai pengayom masyarakat, polisi diharapkan bertindak tegas atas segala bentuk persekusi. Polisi jangan pernah takut dan tunduk di bawah tekanan pelaku persekusi. Apalagi, Kapolri Jenderal Tito Karnavian sudah memerintahkan seluruh jajarannya untuk menindak tegas pelaku persekusi.

Ketegasan aparat kepolisian sangat dibutuhkan karena persekusi pada hakikatnya bukan delik aduan. Artinya, tanpa aduan masyarakat, polisi bisa langsung memproses secara hukum. Kalau polisi sendiri tahu ada peristiwa persekusi, ya, polisi harus kejar pelakunya tanpa menunggu pengaduan korban.

Jenderal Tito patut diapresiasi karena perintahnya menindak tegas pelaku persekusi tidak sekadar pemanis bibir demi citra. Tito memuji anak buahnya yang bertindak cepat dengan memburu dan menangkap pelaku persekusi di Cipinang Muara, Jakarta Timur. Pada saat bersamaan Jenderal Tito langsung mencopot Kapolres Solok, Sumatra Barat, yang gagal melindungi dokter Fiera Lovita, korban persekusi.

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada pihak kepolisian yang sudah menangkap pelaku persekusi, kiranya kepolisian juga tidak ragu-ragu untuk menangkap aktor utama di balik gelombang persekusi masif. Kuat dugaan, gelombang persekusi itu digerakkan karena modusnya serupa. Dimulai dari melacak akun atau orang-orang yang dianggap menghina tokoh ormas tertentu, massa memburu target dengan cara meng geruduk rumah atau kantornya, dan memaksanya meminta maaf, diakhiri dengan mengunggah proses penghakiman itu dan menyebarkannya di media sosial.

Menangkap dan mengungkap aktor intelektual di balik persekusi sangat penting. Jika yang ditangkap hanya aktor lapangan dan mereka yang sekadar ikut-ikutan, persekusi dikhawatirkan terus saja terjadi. Tidak kalah penting ialah negara memberikan perlindungan maksimal kepada korban persekusi, misalnya melibatkan psikolog untuk memulihkan trauma yang dialami korban. Masyarakat juga bisa berperan melindungi korban, misalnya tidak menyebarkan identitas korban atau ikut-ikutan memviralkan prosespenghakiman di media sosial.

Sangatlah tak elok manusia menjadi serigala bagi sesamanya. Tibalah saatnya meninggalkan dan menanggalkan persekusi, lalu menggelorakan perilaku yang humanis agar setiap orang menjadi teman bagi sesamanya.

0 Comments:

Posting Komentar